Seiring berjalannya waktu, tak ada yang bisa menghindari kenyataan bahwa setiap masa jabatan di pemerintahan akan berakhir. Ini berlaku tidak hanya untuk pejabat negara biasa, tetapi juga untuk sosok sekelas seorang presiden. Ketika masa jabatan mereka mendekati akhir, kita sering melihat bagaimana mereka tampak begitu sibuk mencari penerus yang ideal atau bahkan ikut campur dalam mengampanyekan calon pemimpin baru yang sesuai dengan visi mereka selama masa jabatan di pemerintahan.
Namun, seringkali tindakan ini disertai oleh keraguan dan spekulasi. Apa yang sebenarnya ada di balik upaya mereka ini? Apakah mereka memiliki motif tersembunyi, seperti menutupi jejak kejahatan, memanipulasi pemilihan pejabat berikutnya, atau menjaga kendali atas kekuasaan? Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang fenomena cawe-cawe atau promosi calon pemimpin baru oleh pejabat negara dan presiden.
Menutupi Kejahatan
Terkadang, pejabat negara mencari pemimpin selanjutnya sebagai upaya untuk menutupi jejak kejahatan atau tindakan korupsi yang mereka lakukan selama masa jabatan mereka. Dengan memastikan pemimpin baru adalah 'orang mereka', mereka berharap bisa menghindari penyelidikan lebih lanjut.
Mengatur Pejabat Berikutnya
Ada situasi di mana pejabat yang masih berkuasa berusaha mengatur pemilihan pemimpin selanjutnya agar mendukung calon yang akan menjadi "boneka" mereka. Dengan cara ini, mereka bisa terus mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik tanpa harus secara resmi berkuasa.
Mempertahankan Kekuasaan
Ketakutan pejabat negara kehilangan kekuasaan setelah masa jabatan mereka berakhir bisa mendorong mereka mencari pemimpin selanjutnya yang dapat mereka kendalikan. Mereka berharap bisa mempertahankan pengaruh mereka di pemerintahan.
Perlindungan Bisnis dan Kroni-Kroni
Pejabat yang memiliki bisnis atau koneksi dengan kelompok ekonomi tertentu mungkin ingin memastikan bahwa pemimpin selanjutnya tidak akan mengancam bisnis mereka atau mengungkap praktik korupsi. Oleh karena itu, mereka mendukung calon yang akan melindungi kepentingan mereka.
Keluarga dalam Politik
Terakhir, ada kasus di mana pejabat mencoba membawa anggota keluarganya ke dunia politik dengan mendukung mereka menjadi pemimpin selanjutnya. Hal ini dapat memastikan bahwa kekuasaan dan pengaruh keluarga tersebut tetap terjaga. Sebagai contoh, anak dan menantu Presiden Jokowi yang menjadi Walikota saat ini menciptakan keraguan tentang motif sebenarnya dalam tindakan cawe-cawe Presiden Jokowi.
Meskipun pencarian pemimpin selanjutnya adalah hal yang wajar dalam sistem politik Indonesia, kita harus tetap waspada terhadap praktik-praktik yang mungkin tersembunyi di dalamnya. Transparansi, integritas, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil dan pemimpin yang dipilih benar-benar melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan tertentu. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan motif tersembunyi di balik cawe-cawe ini, kita bisa lebih kritis dalam menilai tindakan pejabat negara.
Tindakan Presiden Jokowi dalam melakukan cawe-cawe saat ini mengundang pertanyaan tentang motif dan tujuannya yang mungkin lebih terkait dengan kepentingan pribadi daripada kepentingan demokrasi dan rakyat Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa Presiden Jokowi ingin memastikan bahwa proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru akan tetap dikerjakan oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) China, dengan menyewakan sebidang tanah seluas 34.000 hektar kepada warga negara China selama 190 tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang nasionalisme Presiden Jokowi dan dampaknya bagi Indonesia, terutama bagi suku-suku pribumi seperti suku Dayak dan kelompok masyarakat pribumi lainnya. Semua ini memerlukan tinjauan yang teliti dan pemahaman yang mendalam untuk melindungi kepentingan negara dan rakyat Indonesia.